Pengertian hutang piutang dalam Islam
Hutang dalam Islam disebut Qardh, dan secara bahasa berasal dari kata Al-Qath’ u yang berarti memotong. Sedangkan menurut istilah, hutang piutang bisa didefinisikan sebagai pemberian harta dalam bentuk uang dan lainnya sebagai suatu bentuk kasih sayang kepada mereka yang nantinya akan memanfaatkan harta tersebut, dimana suatu saat si peminjam akan mengembalikan harta tersebut sesuai dengan apa yang telah ia pinjam.Dengan kata lain, hutang merupakan pemberian sesuatu yang menjadi hak milik seseorang (pemberi pinjaman) kepada seseorang (peminjam) dengan perjanjian bahwa dikemudian hari pinjaman tersebut akan dikembalikan dalam jumlah yang sama.
Syariat islam membolehkan adanya hutang-piutang, bahkan memberikan hutang atau pinjaman sangat dianjurkan terutama kepada mereka yang sedang membutuhkan, dan itu akan dapat mendatangkan pahala bagi yang memberikan pinjaman.
Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam pelaksanaannya diperlukan kehati-hatian, karena meskipun di satu sisi hutang dapat menyebabkan seseorang masuk ke surga, tapi di sisi lain hutang juga bisa menjerumuskan seseorang ke neraka.
Adapun hukum hutang piutang itu jaiz atau dibolehkan dalam agama, sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah 245 yang berbunyi : “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan dan kepada-Nya-lah kamu sekalian dikembalikan."
- Harta yang dipinjamkan cukup jelas dan bersumber dari harta yang tidak haram.
- Pemberi pinjaman tidak dibolehkan mengungkit masalah hutang dan tidak menyakiti perasaan pihak yang piutang.
- Peminjam harus mempunyai niat yang baik yakni untuk mencukupi kebutuhannya dan mendapatkan keridhoan Allah dengan mempergunakan yang dihutangkan secara benar.
- Harta yang dihutangkan tidak membuat arau memberi kelebihan atau keuntungan pada pihak yang mempiutangkan.
Adab hutang piutang dalam Islam
Telah diketahui bahwasannya Islam membolehkan adanya hutang piutang, asalkan hal tersebut dilakukan menurut syariat yang benar. Sebab kalau tindakan tersebut tidak dilakukan berdasar cara yang sudah disyariatkan dalam Islam, maka justru akan dapat menjerumuskan mereka yang terlibat di dalamnya ke dalam kesesatan yang akhirnya membawa mereka kepada neraka.- Ada perjanjian tertulis dan saksi yang dapat dipercaya. Allah SWT telah memberikan hihayah kepada kita dalam kitabnya yang agung terkait dengan masalah hutang piutang supaya apabila mereka melakukan transaksi non tunai (hutang piutang) hendaknya ditulis. Tujuannya adalah untuk menguatkan persaksian dan tidak menimbulkan berbagai keraguan nantinya. Firman Allah SWT terdapat di dalam Surat Al-Baqarah ayat 282.
- Pihak peminjam tidak mendapatkan keuntungan sedikit pun dari apa yang dia pinjamkan.
- Pihak piutang sadar akan hutangnya, harus melunasi dengan cara yang baik, dengan harta atau benda yang sama halalnya dan berniat untuk segera melunasi. Ada istilah yang menyatakan bahwa kebaikan harus dibayar dengan kebaikan pula. Hal ini juga berlaku di dalam hutang piutang, dimana pihak yang berhutang berkewajiban untuk melunasi hutang-hutangnya dengan cara yang baik.
- Dianjurkan untuk mencari utangan kepada orang-orang yang dianggap shaleh dan mempunyai penghasilan yang tidak haram. Hal ini bertujuan agar dapat menenangkan jiwa serta dapat terhindar dari hal-hal yang haram dan kotor, sehingga ketika dipergunakan, harta pinjaman tersebut dapat membawa berkah serta datangnya ridho dari Allah SWT.
- Berhutang hanya dalam keadaan terdesak atau darurat. Maksudnya adalah seseorang bisa berhutang disaat dia sedang dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk mendapatkan jalan keluar selain dengan berhutang atau bisa dikatakan dalam keadaan darurat dan mendesak.
- Hutang piutang tidak disertai dengan jual beli. Artinya adalah seseorang tidak diperbolehkan dalam pinjaman atau hutang dengan memberikan persyaratan agar nantinya pihak yang meminjam atau berhutang mau menjual atau menyewakan sesuatu kepada pihak pemberi hutang. Atau si peminjam mesti atau disyaratkan untuk menyewa atau membeli sesuatu dari pihak peminjam.
- Memberitahukan kepada pihak pemberi hutang jika akan terlambat untuk melunasi hutang sehingga dengan begitu tidak akan timbul perasaan-perasaan tidak enak dari kedua belah pihak, dimana hutang yang tadinya merupakan wujud dari kasih sayang akan berubah menjadi suatu permusuhan atau perpecahan.
- Pihak piutang menggunakan harta yang dihutang dengan sebaik mungkin. Timbulnya kesadaran dari pihak peminjam bahwasannya hutang merupakan amanah yang harus dikembalikan, untuk itu sebaiknya menggunakan pinjaman tersebut dengan sebaik mungkin. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda : Artinya “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
- Pihak piutang sadar akan hutangnya dan berniat untuk segera melunasi. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda : “Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut).” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Di dalam hutang piutang tidak diperbolehkan adanya unsur riba’. Suatu pinjaman yang berbunga atau pinjaman yang mendatangkan manfaat dalam bentuk apapun misalnya saja keuntungan adalah diharamkan dalam syariat Islam. Jadi dengan demikian, mereka yang bertindak sebagai pemberi pinjaman atau hutang tidak diperbolehkan untuk mengambil keuntungan atau manfaat dari pihak yang meminjam, karena setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya adalah riba’. Dan riba’ adalah perbuatan yang diharamkan dalam Islam.
- Memberikan penangguhan waktu pembayaran hutang apabila pihak yang berhutang mengalami kesulitan dalam pembayaran hutang-hutangnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Baqarah ayat 280.
Bahaya hutang dalam Islam
Hutang merupakan sesuatu yang sensitif diantara hubungan sesama manusia. Walaupun syariat Islam memperbolehkan untuk melakukan hutang dengan ketentuan atau syarat yang telah dijelaskan di atas, namun kebiasaan berhutang, meski tidak dalam keadaan darurat, justru akan memberikan dampak buruk apalagi kalau hutang itu nggak sempat dilunasi sebab si peminjam keburu meninggal dunia. Berikut ini bahayanya berhutang:Menyebabkan stres
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kalau seseorang yang sedang berhutang maka dia pasti sering mengalami stres akibat memikirkan hutangnya. Kesulitan untuk tidur, pikiran tidak fokus, bahkan sampai tidak nafsu makan. Hutang adalah salah satu penyebab seseorang gampang sedih terutama di malam hari karena memikirkan cara untuk melunasinya, sedangkan pada siang harinya akan merasa kehinaan karena merasa dipandang rendah oleh orang lain akan hutangnya.
Dalam kondisi psikis yang tertekan, ditambah fisik yang ikut lemas, tingkat stres pun akan semakin tinggi. Bagi orang-orang yang selalu bertawakkal dengan cara menyerahkan semua permasalahannya kepada Allah SWT, maka dia dapat melalui semuanya dengan ikhlas. Sedangkan mereka yang berpikiran sempit, tak jarang memilih jalan pintas, misalnya bunuh diri, karena tidak sanggup lagi memikirkan bagaimana caranya untuk membayar hutang tersebut, terutama sekali jika hutang itu telah menjadi hobi lalu akhirnya menggunung dan makin susah untuk melunasinya.
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam pernah bersabda, yang artinya “Berhati-hatilah kamu dalam berhutang, sesungguhnya hutang itu mendatangkan kerisauan di malam hari dan mendatangkan kehinaan di siang hari.” (HR. Al- Baihaqi)
Merusak akhlak
Hobi mengutang justru bisa merusak akhlak si pengutang karena berhutang bukanlah kebiasaan yang baik, layaknya kebiasaan berbohong. Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya : “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri." (HR Al-Bukhari)
Seseorang yang sedang terlilit hutang maka dia amat gampang terpengaruhi tipu daya iblis untuk mengerjakan berbagai maksiat demi bisa melunasi hutangnya, dengan berbagai cara termasuk mencuri atau merampok.
Dihukum layaknya seorang pencuri
Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri." (HR Ibnu Majah)
Jenazahnya tidak dishalatkan
Nabi pernah tidak mau menshalatkan jenazah seseorang yang kedapatan masih mempunyai hutang tapi belum terbayar dan tidak ada meninggalkan sepeserpun harta untuk melunasinya. Sampai kemudian ada salah seorang sahabat yang bersedia menanggungkan hutangnya, baru Rasulullah SAW mau menshalatkan jenazah tersebut.
Dosanya tidak terampuni sekalipun mati syahid
Rasul bersabda yang artinya bahwa semua dosa orang yang mati syahid pasti akan diampuni dan yang tidak dimaafkan adalah hutangnya.
Tertunda masuk Surga
Rasulullah bersabda bahwa siapa yang meninggal maka dan dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya ia akan masuk surga, yakni bebas dari sombong, bebas dari khianat, dan bebas dari tanggungan hutang.
Pahala adalah ganti hutangnya
Rasul bersabda yang isinya adalah siapa yang meninggal dan masih memiliki hutang, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya di hari kiamat kelak. Maksudnya kalau ada seseorang yang berhutang dan tidak sempat melunasi hutangnya akibat meninggal dunia, maka di akhirat nanti pahalanya akan diambil untuk melunasi hutangnya tersebut.
Urusannya masih menggantung
Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya : “Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya." (HR Tirmidzi)
Berhutang memang diperbolehkan, namun menghindarinya adalah lebih baik. Setiap rezeki sudah diatur oleh Allah SWT. Tugas kita sekarang adalah bagaimana cara menjemput rezeki itu tentunya dengan cara-cara yang halal. Jangan mudah tergiur dengan kemewahan sesaat, perbanyaklah berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT agar diberikan rezeki yang halal lagi berkah.
Kalau memang sudah amat terpaksa untuk melakukan hutang, maka hal tersebut lebih baik dilakukan dibandingkan haru melakukan maksiat semacam mencuri. Tapi harus diingat, tujuan berhutang adalah murni untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan cara yang baik pula. Selain itu, di dalam hati harus telah punya niat untuk mensegerakan melunasi hutang itu supaya nggak jadi penghalang di akhirat kelak.
Hadits tentang hutang yang tidak dibayar
Dalam salah satu hadist Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam di atas telah jelas hukumnya bahwa: Barangsiapa yang meminjamnya dengan niat ingin merugikannya, Allah pun akan merugikannya”. (HR Bukhari)Bagi mereka yang berhutang, hendaknya tujuan dari hutang yang ia ajukan adalah untuk niat yang baik dan ia berjanji akan mengembalikannya. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda :
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya, maka Allah akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya, maka Allah akan membinasakannya.”
(HR. Bukhari)
Hukum menagih hutang dalam Islam
Adapun cara menagih hutang dalam Islam, adalah :- Jika yang punya hutang mempunyai iktikad baik, maka hendaknya menagih dengan sikap yang lembut penuh maaf. Diperbolehkan menyuruh orang lain untuk menagih utang, namun harus diberi nasihat dulu supaya dia bersikap lembut, baik dan penuh pemaaf kepada orang yang akan ditagih.
- Bahkan, sangat baik kalau kemudian mengikhlaskanya dan menyedekahkannya. Karena menyedekahkan utang terhadap orang yang menemui kesulitan atau kesukaran mengembalikannya, itu lebih baik.
- Diperbolehkan menagih dengan agak “keras” jika peminjamnya bandel karena kewajiban orang yang punya piutang adalah mengingatkanya dan menagihnya.
- Dan tetap boleh menagih lagi di lain waktu. Bahkan, kalau memang ada unsur kesengajaan dia tidak mau bayar sedangkan dia sudah punya untuk membayarnya, maka anda boleh menyita harta miliknya.
- Menunda utang bagi orang mampu itu haram dan kezaliman.
Hukum membayar hutang orang yang sudah meninggal
Jika orang yang meninggal mempunyai harta warisan, maka hutangnya wajib dibayar dari harta warisan itu sebelum harta dibagikan ke ahli waris berdasar firman Allah dalam QS An-Nisa 11.Jika dia tidak mempunyai warisan peninggalan, maka sang ahli waris pun tidak mesti melunasi hutangnya. Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughni menjelaskan bahwa jika mayit atau orang yang meninggal tidak mempunyai warisan, maka ahli waris tidak berkewajiban apapun karena membayar hutang mayit itu tidak wajib bagi ahli waris saat si mayit masih hidup. Begitu juga tidak wajib saat sudah mati. Pendapat di atas selaras dengan pendapat Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmuk (VI/211)
Hukum hutang piutang bank
Ada 2 hukum pinjam uang di bank yaitu pendapat yang membolehkan dan tidak boleh. Pendapat yang memperbolehkan meminjam uang di bank konvensional adalah pendapat :- Menurut Rasyid Ridha. Rasyid Ridho adalah salah satu ulama yang membawakan semangat pembaharuan islam di masa moderen. Beliau menjelaskan pendapatnya tentang bunga bank konvensional. Rida menjelaskan bahwa kata Al-Ariba pada Ali Imron ayat 130 merupakan bermakna riba atau tambahan yang berlipat ganda atau adh’afan mudha’afah. Riba pada masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan jumlah utang yang dibebankan pada si penghutang.
- Menurut M Quraish Shihab yang juga salah satu ulama pendukung Rasyid Ridho menjelaskan bahwa bunga bank yang terdapat dalam bank konvensional tidk sama dengan Riba. Untuk itu beliau menjelaskan hal ini berkaitan dengan ayat yang ada dalam QS Al Baqarah ayat 278 beserta konteks historis di kala ayat tersebut turun. Latar belakang sosiologis yang menjadi sebab turun ayat larangan riba dalam al-Quran adalah kebiasaan prilaku orang-orang jahiliyyah yang melipatgandakan pengembalian dari pokok utang yang dipinjamkan kepada debitor yang sangat membutuhkan.
- Menurut Umar Shihab dalam buku beliau berjudul Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran mengatakan bahwa bunga bank yang dipungut dan diberikan kepada nasabah jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah bunga atau riba yang diperlakukan pada masa jahiliyyah. Pada zaman Rasulullah, pemberi utang dan sekaligus pemungut riba, maka dia akan mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar karena telah melipatgandakan pembayaran. Kalau dipandang saat ini, beliau tidak melihat adanya hal itu tapi justru katanya adanya keuntungan terjadi di dua belah pihak, antara peminjam dan pemberi pinjaman atau kreditur dan debitur. Oleh karena itu, maka bunga bank tidak langsung diharamkan sebab jauh berbeda kondisinya dengan apa yang dipraktekkan di zaman dulu. Umar Shihab berpendapat bahwa bunga bank itu bisa dianalogikan seperti jual beli yang didasari suka sama suka. Dari hal tersebut ulama yang menyepakati pengertian riba, makna riba, dan hukum riba dalam islam dihubungkan dengan bunga bank pada konteks zaman sekarang, tidak menyamakan antara riba dengan bunga bank. Beberapa ulama modern yang lain pun berijtihad bahwa bunga bank di dalam bank konvensional merupakan suatu tambahan yang wajar dan memang sesuai dengan hukum-hukum ekonomi yang berlaku.
Adanya perbedaan pemahaman mengenai riba oleh para ulama ini diakibatkan karena adanya perbedaan dalam memahami tujuan atau illat yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Quran mengenai riba dan persoalan bahaya hutang dalam islam melalui bank-bank konvensional. Untuk kehati-hatian, maka sebaiknya muslim lebih memilih jalan syar'i dengan tidak melakukan transaksi hutang yang di dalamnya ada unsur bunga dan tanpa transaksi tertulis.
Itulah hal-hal yang berkaitan dengan masalah hutang dalam Islam yang Saya ambil dari beberapa website terpercaya. Semoga bermanfaat.