Tuk Bayar Utang

Hukum Hutang Piutang dalam Islam



Dalam pandangan Islam, utang dikenal sebagai Al-Qardh dan secara etimologis berarti memotong. Sementara arti menurut syara berarti memberi kekayaan dengan dasar kasih sayang kepada siapapun yang membutuhkan dan akan dimanfaatkan dengan benar, yang pada suatu waktu harta tersebut akan dikembalikan lagi ke orang yang memberikannya.

Pendapat Ulama juga menyebutkan akad pinjaman sebagai 'irfaq', yang berarti pahala atau welas asih. Karena itu, pemberian pinjaman itu dianjurkan dalam Islam. Dari Ibn Mas'ud z, Rasulullah SAW bersabda:

ما من مسلم يقرض مسلما قرضا مرتين إلا كان كصدقتها مرة

"Tidaklah seorang muslim memberikan pinjaman kepada muslim yang lain dua kali kecuali seperti shadaqah satu kali."
(Shahih Lighairihi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al Baihaqi Lihat Sahih At-Targhib 901)

Jadi pemberian pinjaman adalah perbuatan baik, membantu memberi jalan keluar bagi seorang Muslim yang mengalami kesempitan dan juga memenuhi kebutuhannya. Dalam ajaran Islam, hutang adalah 'muamalah' yang diijinkan, namun perlu ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena hutang bisa membawa seseorang ke surga, dan sebaliknya bisa menceburkan seseorang ke dalam neraka.

Hutang dalam Islam adalah Jaiz atau diperbolehkan, namun Islam mengatur caranya secara sistematis tentang masalah hutang. Fluktuasi kondisi ekonomi kadang memaksa seseorang meminjam uang. Aplikasi pinjaman biasanya beagam, mulai dari lembaga keuangan resmi seperti perbankan atau yang berdimensi online.

Namun, ada juga beberapa kalangan yang lebih suka meminjam pada teman dan kerabatnya. Bukan tanpa alasan, pinjaman ini tentunya tanpa embel-embel bunga dan agunan. Selama saling percaya, pinjaman pasti akan diberikan. Sayangnya, bagaimanapun, banyak yang menyalahgunakan kepercayaan dengan tidak membayar hutang tepat waktu. Bahkan, ada pula yang dengan sengaja pura-pura lupa.

Hukum hutang piutang dalam Islam, berdasarkan firman Allah SWT :

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚ وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.

Syaikh Abdurrahman as-Sa'di saat menafsirkan ayat ini mengatakan: "Diantara manfaat yang bisa didapat dari ayat ini adalah mu'amalah dalam bentuk piutang piutang baik dalam bentuk salam atau penjualan dan pembayaran ditangguhkan. Semua hukumnya mungkin, Allah telah berkhotbah tentang orang-orang yang beriman, sedangkan apa yang dikatakan tentang orang-orang beriman maka itu adalah buah iman (mereka) yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. "

Bahkan menurut sebuah hadits, Rasulullah pun pernah berhutang. Hadits tersebut berbunyi :

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya” 
(HR Al-Bukhari no. 2200)

Meski dalam hadits tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah pernah berhutang, tapi bukan berarti dia suka berhutang. Sebaliknya, Nabi sangat menghindari kegiatan hutang jika tidak dalam keadaan perlu. Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisha radhiallaahu 'anhaa.

"Ya Allah, sesungguhnya aku mencari perlindungan dari hukuman azab qubur, dari fitnah Al-Masiih Ad-Dajjaal dan dari fitnah hidup dan fitnah maut.Ya Allaha, sesungguhnya aku mencari perlindungan-Mu dari hal-hal yang menyebabkan dosa dan dari hutang "

Utang bukanlah dosa. Namun, aktivitas hutang yang tidak terkendali akan menyebabkan orang tersebut melakukan kesalahan. Berbohong dan melanggar janji akan menjadi sarapan setiap hari bagi orang-orang yang sudah berhutang. Semuanya akan terlihat bagus asalkan bisa meningkatkan jumlah nominal utang.

Inilah yang diwanti-wanti Rasulullah. Hutang tersebut hanya berupa jalan keluar darurat ketika kita tidak lagi memiliki sumber pundi-pundi rupiah untuk bertahan hidup. Uang dari hutang bukanlah sesuatu yang harus digunakan untuk kebutuhan konsumtif seperti belanja atau hal lain yang mengarah pada kesenangan.

Hutang dalam Islam itu sendiri bukanlah hal yang patut dicela jika orang tersebut dapat menggunakan dana tersebut dengan bijak, terutama jika dalam kondisi darurat. Nah, Islam sendiri memberikan alternatif hutang dengan cara yang aman. Yakni dengan menggadaikan barang yang kita miliki. Dahulu kala, Rasulullah SAW pernah berhutang dengan baju besinya sebagai jaminan. Jika suatu saat dia tidak mampu melunasi hutangnya, maka baju ini yang digadaikan akan menjadi alat pembayaran.

Di Indonesia sendiri ada lembaga milik pemerintah seperti pegadaian yang memberi kesempatan kepada orang yang ingin mengajukan pinjaman dengan cara gadai barang yang dimilikinya. Jumlah nominal uang pinjaman akan disesuaikan dengan nilai barang dagangan. Biasanya, emas memiliki perkiraan dengan nilai gadai tertinggi. Hal ini cukup efektif bagi seseorang untuk menghindari jeratan hutang. Apalagi bunga yang ditawarkan oleh pegadaian cukup rendah sehingga tidak membebani peminjam.

Utang seharusnya hanya pintu keluar darurat untuk bertahan. Namun sebenarnya, kita sering melihat banyak orang yang menggunakan uang untuk mengikuti gaya hidup. Yang lebih menyedihkan lagi, ketika satu pinjaman belum dilunasi, orang tersebut kembali ke pinjaman kedua dan seterusnya. Ini pasti akan berakibat fatal bagi kehidupan orang tersebut.

Ketentuan hutang piutang dalam Islam

  1. Kekayaan yang dihutangkan adalah jelas dan sah/halal.
  2. Pemberi pinjaman tidak diperbolehkan untuk mengungkit masalah hutang dan tidak melukai perasaan piutang (yang meminjam).
  3. Pihak peminjam punya maksud berhutang untuk memenuhi kebutuhannya dan mendapatkan berkah Tuhan dengan menggunakannya pada hal yang benar.
  4. Properti yang dihutangkan tidak membuat atau memberi keuntungan kepada pihak yang mengutangkan.
  5. Orang yang meminjamkan adalah orang yang tepat untuk memberi, sehingga tidak boleh seorang wali anak yatim piatu meminjamkan dari harta yatim piatu tersebut.
  6. Mengetahui jumlah atau sifat  barang yang dipinjamkan.

Adab hutang piutang dalam Islam

  1. Ada kesepakatan tertulis dan saksi yang kredibel. Kedua belah pihak yang melakukan hutang piutang harus tertulis dan disaksikan oleh pihak lain. Hal ini sesuai dengan Q.S Al Badarah ayat 282.
  2. Pemberi pinjaman tidak mendapatkan keuntungan dari apa yang dibutuhkan. Dilarang bagi pemberi pinjaman untuk meminta imbalan tambahan atau beberapa keuntungan. Para ulama setuju, jika membutuhkan dan mengambil keuntungan, maka itu termasuk 'Riba' (ilegal), walaupun disebut dalam istilah lain seperti bunga, jasa, atau istilah lainnya. Dengan kata lain, bahwa pinjaman berbunga adalah Haram berdasarkan ahli Al-Qur'an, As-Sunnah, dan Ijma. Karena tujuan pemberi pinjaman adalah mencintai peminjam dan membantunya, bukan mencari kompensasi atau keuntungan. Jika tambahan diberikan oleh peminjam atas dorongan sendiri, tidak ada persyaratan atau isyarat atau tujuan ke arah itu, maka diperbolehkan untuk mengambilnya, karena ini termasuk pembayaran yang bagus. Karena Rasulullah SAW pernah meminjam binatang maka beliau mengembalikannya dengan yang lebih baik, dengan mengatakan: "Yang terbaik dari Anda adalah yang terbaik dalam melunasi." Jadi itu termasuk shadaqah dari peminjam.
  3. Memberi pinjaman dengan tulus untuk membantu seseorang dalam masalah
  4. Pihak piutang sadar akan hutangnya, harus melunasi dengan cara yang baik (dengan properti atau harta halal) dan berniat untuk segera melunasi. Jika seseorang berutang untuk tujuan yang buruk, maka dia telah melakukan Zhalim dan dosa. Di antara tujuan yang buruk diantaranya adalah berhutang untuk menutupi hutang yang belum dibayar, hanya memenuhi kesenangan, berhutang dengan niat meminta, dan ada maksud untuk tidak membayar. Harm hukumnya jika berhutang dengan niat tak akan dibayar.
  5. Harus berutang kepada orang yang saleh dan memiliki penghasilan halal, karena uang atau barang yang halal, insyaallah akan bermanfaat dan bisa juga digunakan untuk hal yang baik. Selalu berdoa kepada Allah SWT. Dan gunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin serta menyadari bahwa pinjaman adalah kepercayaan yang harus dia kembalikan.
  6. Berutang hanya dalam keadaan darurat, karena menurut Rasulullah SAW, hutang merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan penghinaan di siang hari.
  7. Hutang piutang tidak disertai dengan penjualan dan pembelian. Mayoritas ulama menyatakan tidak boleh melakukan seperti itu. Tidak boleh memberikan suatu kondisi dalam pinjaman sehingga si debitur menjual propertinya, membeli, menyewakan, atau menyewa dari orang yang berhutang padanya.
  8. Memberitahu kepada pemberi pinjaman jika akan terlambat untuk melunasi hutangnya. Jika ada penundaan karena kesulitan keuangan, maka debitur harus membertahu pemberi pinjaman. Karena ini termasuk bagian dari pemakaian hak. Jangan diam atau lari dari pemberi pinjaman, karena akan memperparah situasi, dan mengubah hutang, yang pada awalnya merupakan bentuk kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
  9. Pihak piutang menggunakan properti yang diutangnya dengan sebaik mungkin.
  10. Para debitur sadar akan hutang dan berniat melunasi segera. Karena faktanya ini merupakan konsekuensi dari hukum yang berlaku dalam hutang. Orang yang berhutang, dia harus mencoba melunasi hutangnya sesegera mungkin saat dia memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya. Bagi orang yang menunda pelunasan hutang saat dia mampu, maka dialah yang melakukan zhalim.
  11. Pemberi pinjaman dapat memberikan penangguhan jika piutang mengalami kesulitan melunasi hutang. Setelah tanggal jatuh tempo dan peminjam tidak dapat membayar, dianjurkan untuk memberikan penundaan. Jadi dia mendapatkan kekayaannya untuk membayarnya. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al Qur'an Surat Al-Baqarah: 280: "Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui."
  12. Akan lebih baik jika menganggap lunas hutangnya. Dan akan lebih baik jika dia (pemberi pinjaman) menjatuhkan / memutihkan / mengasumsikan bahwa hutang kepada pemberi pinjaman sudah lunaas.
Utang diperbolehkan, tapi menghindarinya akan lebih baik. Setiap rezeki diatur oleh Allah SWT. Tugas kita bagaimana cara kita mengambil rezeki, terutama untuk mendapatkannya dengan cara yang halal. Jangan mudah tergoda oleh kemewahan sesaat, perbanyaklah berdzikir dan doakan kepada Allah SWT untuk diberi rezeki halal lagi berkat.

Jika sangat terpaksa untuk berhutang, maka itu lebih baik dilakukan daripada melakukan pencurian yang tidak bermoral. Namun perlu diingat, tujuan dari hutang itu murni untuk dimanfaatkan sebaik mungkin dengan cara yang baik pula. Dan, di dalam hati sudah berniat untuk segera melunasi hutang agar tidak menjadi penghalang di akhirat.

Itulah sedikit informasi tentang hukum hutang piutang dalam Islam termasuk pengertian dan hukum hutang piutang bank. Nantikan pula artikel lainnya tentang :
- hukum menagih hutang dalam islam
- hukum membayar hutang orang yang sudah meninggal
- bahaya hutang dalam islam

Sumber :
http://fimadani.com/hutang-dalam-islam/
https://dalamislam.com/dasar-islam/bahaya-hutang-dalam-islam
https://uangteman.com/blog/berita-bisnis/bagaimana-hukum-hutang-piutang-dalam-islam/
http://www.ariepinoci.web.id/2012/07/hukum-dan-syarat-utang-piutang-dalam.html



ATTENTION FOR MOSLEM !!! ABAIKAN JIKA ADA IKLAN YANG MENAWARKAN KARTU KREDIT/PINJAMAN BERBUNGA/RIBA/JIMAT DLL
Tag : Hukum Hutang
Back To Top